Selasa, 08 November 2011

Etika Bisnis

Etika Bisnis


Etika adalah ilmu tentang moral ( filsafat moral), yang membahas arti dan tujuan dari norma, kriteria mendasar bagi moral yang evaluasi, dan bahkan soliditas dan sumber moralitas. Etika terutama milik filsafat yang mempelajari perilaku manusia yang diterima di bawah aspek moral tertentu Ini adalah ilmu normatif, standar untuk menentukan sifat spesifik dari etika dan dengan demikian membedakannya dari ilmu-ilmu lainnya.

Etika individual ini adalah etika yang berkaitan dengan kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya: memelihara kesehatan dan kesucian lahiriah dan batiniah , memelihara kerapian diri, kamar, tempat tingggal, dan lainnya, berlaku tenang, meningkatkan ilmu pengetahuan, membina kedisiplinan , dan lainnya.

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah : pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility), mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan", menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi), mampu menyatakan yang benar itu benar, menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah, konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama, menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati, perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan.

Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan. Perbedaan besar nampak antara teleologi dengan deontologi. Secara sederhana, hal ini dapat kita lihat dari perbedaan prinsip keduanya. Dalam deontologi, kita akan melihat sebuah prinsip benar dan salah. Namun, dalam teleologi bukan itu yang menjadi dasar, melainkan baik dan jahat. Ketika hukum memegang peranan penting dalam deontologi, bukan berarti teleologi mengacuhkannya. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum. Hal ini membuktikan cara pandang teleologis tidak selamanya terpisah dari deontologis. Perbincangan "baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar" dan "salah". Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika "yang baik" itu dipersempit menjadi "yang baik bagi saya".